Empowering People to Serve and to Heal: Gereja Sebagai Komunitas Iman Inklusif dalam Memberdayakan Penyandang Disabilitas
Keywords:
disability, normality, solidarity, ecclesiology, community, inclusive, disabilitas, kenormalan, solidaritas, eklesiologi, komunitas, inklusifAbstract
Abstract
This paper is an attempt to discuss the issue of disability and the vulnerability of persons with disabilities in the midst of a culture of normalcy. The normal life in society has framed the order of human life by presenting all the consequences for persons with disabilities. Normality views persons with disabilities as a form of “disability,” “abnormality” and “imperfection” in human beings. Normality also places persons with disabilities as objects, not subjects. As a result, people with disabilities are often eliminated, discriminated against, and marginalized for their perceived “abnormality” in a society that glorifies normality. The solidarity model is an alternative as a counter-attack to normalcy. Likewise with the role and responsibility of the church towards persons with disabilities. In the midst of its imperfections, the church needs to have solidarity with people with disabilities as with God who has solidarity with the world who was incarnated in Jesus with a body full of wounds and “disability” after His resurrection. Therefore, this paper seeks to present an ecclesiological view of the church as a faith community that is inclusive, liberates, and at the same time empowers persons with disabilities in the midst of normalcy.
Abstrak
Makalah ini merupakan sebuah upaya untuk membahas isu disabilitas dan kerentanan para penyandang disabilitas di tengah budaya kenormalan. Kenormalan yang hidup di dalam masyarakat telah membingkai tatanan kehidupan manusia dengan menghadirkan segala konsekuensinya terhadap para penyandang disabilitas. Kenormalan memandang para penyandang disabilitas sebagai bentuk “kecacatan,” “ketidaknormalan” dan “ketidaksempurnaan” dalam diri manusia. Kenormalan juga menempatkan para penyandang disabilitas sebagai obyek, bukan subyek. Dampaknya, para penyandang disabilitas seringkali tereliminasi, terdiskriminasi, dan terpinggirkan atas anggapan “keabnormalan” mereka di dalam tatanan masyarakat yang mengagungkan kenormalan. Model solidaritas menjadi salah satu alternatif sebagai counter-attack atas kenormalan. Demikian juga dengan peran dan tanggung jawab gereja terhadap para penyandang disabilitas. Di tengah ketidaksempurnaannya, gereja perlu untuk memiliki solidaritas terhadap para penyandang disabilitas sebagaimana dengan Allah yang memiliki solidaritas terhadap dunia yang berinkarnasi di dalam diri Yesus dengan tubuh yang penuh luka dan “kecacatan” setelah kebangkitan-Nya. Oleh karena itu, makalah ini berupaya untuk menyajikan pandangan eklesiologi gereja sebagai komunitas iman yang inklusif, membebaskan dan sekaligus memberdayakan para penyandang disabilitas di tengah kenormalan.